Tari Legong
Thursday, 12 September 2013
0
comments
Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.
Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua. Konon idenya diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap.
Sesuai dengan awal mulanya, penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas.
Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad.
Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua. Konon idenya diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap.
Sesuai dengan awal mulanya, penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas.
Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad.
Dalam perkembangan zaman, legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk rekonstruksi
Tari Legong dalam khasanah budaya Bali termasuk ke dalam jenis tari klasik karena awal mula perkembangannya bermula dari istana kerajaan di Bali. Tarian ini dahulu hanya dapat dinikmati oleh keluarga bangsawan di lingkungan tempat tinggal mereka yaitu di dalam istana sebagai sebuah tari hiburan. Para penari yang telah didaulat menarikan tarian ini di hadapan seorang raja tentu akan merasakan suatu kesenangan yang luar biasa, karena tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam istana.
Mengenai tentang awal mula diciptakannya tari Legong di Bali adalah melalui proses yang sangat panjang. Menurut Babad Dalem Sukawati, tari Legong tercipta berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, Raja Sukawati yang bertahta tahun 1775-1825 M. Ketika beliau melakukan tapa di Pura Jogan Agung desa Ketewel ( wilayah Sukawati ), beliau bermimpi melihat bidadari sedang menari di surga. Mereka menari dengan menggunakan hiasan kepala yang terbuat dari emas.
Tari Legong dalam khasanah budaya Bali termasuk ke dalam jenis tari klasik karena awal mula perkembangannya bermula dari istana kerajaan di Bali. Tarian ini dahulu hanya dapat dinikmati oleh keluarga bangsawan di lingkungan tempat tinggal mereka yaitu di dalam istana sebagai sebuah tari hiburan. Para penari yang telah didaulat menarikan tarian ini di hadapan seorang raja tentu akan merasakan suatu kesenangan yang luar biasa, karena tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam istana.
Mengenai tentang awal mula diciptakannya tari Legong di Bali adalah melalui proses yang sangat panjang. Menurut Babad Dalem Sukawati, tari Legong tercipta berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, Raja Sukawati yang bertahta tahun 1775-1825 M. Ketika beliau melakukan tapa di Pura Jogan Agung desa Ketewel ( wilayah Sukawati ), beliau bermimpi melihat bidadari sedang menari di surga. Mereka menari dengan menggunakan hiasan kepala yang terbuat dari emas.
Ketika beliau sadar dari semedinya, segeralah beliau menitahkan Bendesa Ketewel untuk membuat beberapa topeng yang wajahnya tampak dalam mimpi beliau ketika melakukan semedi di Pura Jogan Agung dan memerintahkan pula agar membuatkan tarian yang mirip dengan mimpinya. Akhirnya Bendesa Ketewel pun mampu menyelesaikan sembilan buah topeng sakral sesuai permintaan I Dewa Agung Made Karna. Pertunjukan tari Sang Hyang Legong pun dapat dipentaskan di Pura Jogan Agung oleh dua orang penari perempuan.
Tak lama setelah tari Sang Hyang Legong tercipta, sebuah grup pertunjukan tari Nandir dari Blahbatuh yang dipimpin I Gusti Ngurah Jelantik melakukan sebuah pementasan yang disaksikan Raja I Dewa Agung Manggis, Raja Gianyar kala itu. Beliau sangat tertarik dengan tarian yang memiliki gaya yang mirip dengan tari Sang Hyang Legong ini, seraya menitahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata kembali dengan mempergunakan dua orang penari wanita sebagai penarinya. Sejak itulah tercipta tari Legong klasik yang kita saksikan sekarang ini.
Bila ditinjau dari akar katanya, Legong berasal dari kata “ leg “ yang berarti luwes atau elastis dan kata “gong” yang berarti gamelan. Kedua akar kata tersebut bila digabungkan akan berarti gerakan yang sangat diikat ( terutama aksentuasinya ) oleh gamelan yang mengiringinya (Dibia, 1999:37).
Sebagai sebuah tari klasik, tari Legong sangat mengedepankan unsur artistik yang tinggi, gerakan yang sangat dinamis, simetris dan teratur. Penarinya pun adalah orang-orang yang berasal dari luar istana yang merupakan penari pilihan oleh raja ketika itu. Maka, tidaklah mengherankan jika para penari merasakan kebanggaan yang luar biasa jika menarikan tari Legong di istana. Begitu pula sang pencipta tari. Akan menjadi suatu kehormatan besar apabila dipercaya untuk menciptakan suatu tarian oleh seorang pengusa jaman itu. Walaupun nama mereka tidak pernah disebutkan mencipta suatu tarian kepada khalayak ramai, mereka tidak mempersoalkan itu asalkan didaulat mencipta berdasarkan hati yang tulus dan penuh rasa persembahan kepada sang raja. Ini dapat dilihat dari hampir seluruh tari-tari klasik maupun tari tradisi lain yang berkembang di luar istana seperti tari Legong, Baris, Jauk dan Topeng.
Kini di jaman yang tidak lagi menganut paham feodalisme, keseian Legong telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari segi kuantitas maupun kualitas. Disebutkan bahwa tari Legong Keraton ( karena berkembang di istana ) keluar dari lingkungan istana pada awal abad ke-19. Para penari wanita yang dahulunya berlatih dan menari Legong di istana kini kembali ke desa masing-masing untuk mengajarkan jenis tarian ini kepada masyarakat. Sebagaimana diketahui, orang Bali adalah orang yang sangat kreatif sehingga gaya tari masing-masing pun sedikit berbeda sesuai dengan kemampuan membawakannya. Oleh karena itu, timbul style-style Palegongan yang tersebar di berbagai daerah seperti di desa Saba, Peliatan, Bedulu, Binoh, Kelandis dan beberapa tempat lainnya. Dari sekian daerah perkembangan tari Legong, hanya desa Saba dan Peliatan yang masih kuat mempertahankan ciri khasnya dan mampu melahirkan jenis-jenis tari Palegongan dengan berbagai nama.
Tari-tari legong yang ada di Bali pada awalnya diiringi oleh gamelan yang disebut Gamelan Pelegongan. Perangkat gamelan ini terdiri dari dua pasang gender rambat, gangsa jongkok, sebuah gong, kemong, kempluk, klenang, sepasang kendang krumpungan, suling, rebab, jublag, jegog, gentorang. Sebagai tambahan, terdapat seorang juru tandak untuk mempertegas karakter maupun sebagai narrator cerita melalui tembang. Namun, seiring populernya gamelan gong kebyar di Bali, akhirnya tari-tari palegongan ini pun bisa diiringi oleh gamelan Gong Kebyar, karena tingkat fleksibilitasnya.
Bila ditinjau dari akar katanya, Legong berasal dari kata “ leg “ yang berarti luwes atau elastis dan kata “gong” yang berarti gamelan. Kedua akar kata tersebut bila digabungkan akan berarti gerakan yang sangat diikat ( terutama aksentuasinya ) oleh gamelan yang mengiringinya (Dibia, 1999:37).
Sebagai sebuah tari klasik, tari Legong sangat mengedepankan unsur artistik yang tinggi, gerakan yang sangat dinamis, simetris dan teratur. Penarinya pun adalah orang-orang yang berasal dari luar istana yang merupakan penari pilihan oleh raja ketika itu. Maka, tidaklah mengherankan jika para penari merasakan kebanggaan yang luar biasa jika menarikan tari Legong di istana. Begitu pula sang pencipta tari. Akan menjadi suatu kehormatan besar apabila dipercaya untuk menciptakan suatu tarian oleh seorang pengusa jaman itu. Walaupun nama mereka tidak pernah disebutkan mencipta suatu tarian kepada khalayak ramai, mereka tidak mempersoalkan itu asalkan didaulat mencipta berdasarkan hati yang tulus dan penuh rasa persembahan kepada sang raja. Ini dapat dilihat dari hampir seluruh tari-tari klasik maupun tari tradisi lain yang berkembang di luar istana seperti tari Legong, Baris, Jauk dan Topeng.
Kini di jaman yang tidak lagi menganut paham feodalisme, keseian Legong telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari segi kuantitas maupun kualitas. Disebutkan bahwa tari Legong Keraton ( karena berkembang di istana ) keluar dari lingkungan istana pada awal abad ke-19. Para penari wanita yang dahulunya berlatih dan menari Legong di istana kini kembali ke desa masing-masing untuk mengajarkan jenis tarian ini kepada masyarakat. Sebagaimana diketahui, orang Bali adalah orang yang sangat kreatif sehingga gaya tari masing-masing pun sedikit berbeda sesuai dengan kemampuan membawakannya. Oleh karena itu, timbul style-style Palegongan yang tersebar di berbagai daerah seperti di desa Saba, Peliatan, Bedulu, Binoh, Kelandis dan beberapa tempat lainnya. Dari sekian daerah perkembangan tari Legong, hanya desa Saba dan Peliatan yang masih kuat mempertahankan ciri khasnya dan mampu melahirkan jenis-jenis tari Palegongan dengan berbagai nama.
Tari-tari legong yang ada di Bali pada awalnya diiringi oleh gamelan yang disebut Gamelan Pelegongan. Perangkat gamelan ini terdiri dari dua pasang gender rambat, gangsa jongkok, sebuah gong, kemong, kempluk, klenang, sepasang kendang krumpungan, suling, rebab, jublag, jegog, gentorang. Sebagai tambahan, terdapat seorang juru tandak untuk mempertegas karakter maupun sebagai narrator cerita melalui tembang. Namun, seiring populernya gamelan gong kebyar di Bali, akhirnya tari-tari palegongan ini pun bisa diiringi oleh gamelan Gong Kebyar, karena tingkat fleksibilitasnya.
0 comments:
Post a Comment