.showpageArea a { text-decoration:underline; } .showpageNum a { text-decoration:none; border: 1px solid #cccccc; margin:0 3px; padding:3px; } .showpageNum a:hover { border: 1px solid #cccccc; background-color:#cccccc; } .showpagePoint { color:#333; text-decoration:none; border: 1px solid #cccccc; background: #cccccc; margin:0 3px; padding:3px; } .showpageOf { text-decoration:none; padding:3px; margin: 0 3px 0 0; } .showpage a { text-decoration:none; border: 1px solid #cccccc; padding:3px; } .showpage a:hover { text-decoration:none; } .showpageNum a:link,.showpage a:link { text-decoration:none; color:#333333; }
Your Adsense Link 728 X 15

Asal-Usul Tari Pendet

Posted by Kustio Delta Haryono Friday, 5 October 2012 0 comments
Tari Pendet diciptakan oleh I Wayan Rindi (1967), maestro tari dari Bali yang dikenal luas sebagai penggubah tari pendet sakral yang bisa di pentaskan di pura setiap upacara keagamaan. Pada awal penciptaan, tarian ini merupakan tari pemujaan yang banyak dipentaskan di Pura, tempat ibadah umat Hindu di Bali, Indonesia. Gerak Tari ini simbol penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Tetapi, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Tari Pendet menjadi “tarian ucapan selamat datang”, meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius.
Diyakini bahwa Tari Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis. Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.
Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.Tari Pendet pernah menjadi sorotan dan heboh saat tampil di program televisi Enigmatic Malaysia Discovery Channel.
Tindakan Malaysia yang mengklaim tari pendet sebagai bagian dari budayanya amat disesalkan keluarga Wayan Rindi. Pada masa hidupnya, Wayan Rindi memang tak berfikir untuk mendaftarkan temuannya agar tak ditiru negara lain. Selain belum ada lembaga hak cipta, tari Bali selama ini tidak pernah di patenkan karena kandungan nilai spiritualnya yang luas dan tidak bisa dimonopoli sebagai ciptaan manusia atau bangsa tertentu.
Namun pemerintah Malaysia menyatakan kalau mereka tidak bertanggung jawab atas iklan tersebut karena dibuat oleh Discovery Channel Singapura hingga akhirnya Discovery TV melayangkan surat permohonan maaf kepada kedua negara, dan menyatakan bahwa jaringan televisi itu bertanggung jawab penuh atas penayangan iklan program tersebut.
Meskipun demikian, insiden penayangan pendet dalam program televisi mengenai Malaysia ini sempat memicu sentimen Anti-Malaysia di Indonesia. Kasus klaim Malaysia terhadap Tari Pendet, yang erat terkait dengan tata upacara keagamaan Hindu Bali, sungguh tidak masuk akal mengingat negeri Malaysia berbasis penduduk beragama Islam. Apalagi dilihat dari aspek kesejarahan, Hindu Bali pasti jauh lebih tua daripada Malaka, cikal-bakal Malaysia. Malaka sendiri didirikan oleh Prameswara, bangsawan Sriwijaya yang bertransmigrasi secara sukarela melalui Tumasik (sekarang Singapore) saat Majapahit menguasai Palembang sebagai ibukota Sriwijaya kala itu.
Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Wayan Dibia, juga menegaskan bahwa menarikan tari Pendet atau memendet sudah sejak lama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu di Bali. Jadi bagaimana mungkin Malaysia mengklaimnya?
Itulah penjelasan mengenai seni tari pendet dari bali, sejarah, dan gerakan tari pendet. Semoga dapat menambah pengetahuan kamu mengenai seni tari di Indonesia.

0 comments:

Post a Comment